Cari Blog Ini

Halaman

Minggu, 28 Desember 2025

Menemukan Jogja terpencil yang Jauh dari Hiruk Pikuk

 


Yogyakarta bukan hanya sebuah kota romantis; itu adalah tempat di mana waktu seolah melambat dan setiap momen terasa begitu indah. Saya pikir Yogyakarta atau Jogja adalah tempat terbaik untuk kembali ke masa lalu dan menengok kembali kenangan. Ya, saya adalah mahasiswa dan pengangguran pada saat itu. Tahun berikutnya, saya mengunjungi kota ini sebagai wisatawan. Wisatawan lokal yang memiliki sedikit uang

Baik saat ini maupun selama beberapa tahun terakhir, saya telah menghabiskan waktu di Kota Jogja untuk alasan pekerjaan. tentu saja sambil berpura-pura sebagai wisatawan.



Selama musim liburan Natal dan tahun baru ini, Jogja kembali menjadi topik pembicaraan di internet. Yogyakarta tampaknya menarik lebih banyak orang dari seluruh Indonesia selama liburan nataru ini, mengalahkan tempat wisata populer lainnya seperti Bali.

Selain itu, secara tidak sengaja, sejak Senin, 22 Desember lalu, saya mendapat tugas tiba-tiba ke Yogyakarta.

Anak saya berkata, "Enak sekali, bisa jalan-jalan ke Jogja."

Namun, menjadi salah satu dari ribuan turis yang pergi ke Jogja membuat saya mempertimbangkan apa sebenarnya yang dicari orang-orang di sana. Selain itu, banyak dari mereka pasti pernah mengunjungi Jogja sebelumnya. Di musim liburan seperti ini, apakah Anda tidak bosan dengan keramaian dan kemacetan Jalan Malioboro? Apa tidak merasa seperti "lu lagi lu lagi" ketika Anda melewati atau melihat Tugu Jogja yang terkenal itu?

Satu hal yang menarik perhatian saya adalah begitu banyaknya orang yang rela menempuh jarak yang jauh untuk pergi ke tempat-tempat yang telah menjadi viral di media sosial. Di satu sisi, menjadi normal untuk menyebutnya musim liburan. 

Pasar Ngasem, sebagai contoh. Pasar ini telah berubah dari tempat jual burung dan unggas menjadi tempat wisata kuliner yang menjadi viral. Dalam beberapa hari terakhir, video yang menggambarkan kerumunan wisatawan yang mengunjungi Pasar Ngasem untuk membeli makanan viral seperti sate koyor, apem, dan wingko babat. Jangan sebutkan bakmi atau gudeg Jogja yang terkenal. Percayalah, saya pernah berada dalam situasi seperti itu ketika saya menunggu pesanan bakmi Yogyakarta di warung terkenal dan baru bisa makan setelah 1,5 jam karena pesanannya baru jadi.

Tidak diragukan lagi, selama menunggu, beberapa bungkus plastik kerupuk telah dibuang untuk mengisi perut, tetapi tidak berhasil. Selain itu, segelas teh panas sudah hampir habis, meskipun suhunya sudah cukup dingin.

Untuk kali ini, karena saya pergi ke Jogja sendirian, metode transportasi yang paling mudah untuk saya gunakan adalah menggunakan ojek online. Selain itu, saya telah berbicara dengan beberapa ibu ojol di Jogja dan menemukan bahwa keluhan mereka tentang macet hampir identik.

"Ini masih pagi Mas, nanti siang sedikit apalagi sore dan malam di jalan ini pasti macetnya panjang."

Saat musim liburan, kemacetan sering terjadi di kawasan Malioboro, jalan menuju pantai di selatan Jogja, dan jalan menuju utara ke tempat wisata seperti Kaliurang dan Gunung Merapi.

Sudah macet di jalan menuju lokasi, dan masih ada antrean untuk masuk atau membeli sesuatu di setiap destinasi.

Jogja yang Sederhana dan Mudah Faktanya,
Mungkin ini pendapat pribadi saya. Namun, ketika saya pergi ke Jogja, saya sudah mencoba menghilangkan rasa penasaran saya akan hal-hal yang ramai dan viral. Sebenarnya, saya selalu ingin menikmati sarapan seperti soto ayam, gudeg, bakmi, dan jajanan khas Jogja yang jarang ditemukan di wilayah Jabodetabek. Tapi saat saya pernah bermukim di Jogja, saya tidak lagi mencari tempat penuh keramaian yang mengurangi keasliannya.


Ketika seseorang menulis di media sosial bahwa makanan di Jogja mahal, saya ingin mengajak mereka melihat bagian lain dari kota. Sangat diinginkan bahwa dia berbisik ke telinga mereka dan berkata:

Jadi, jangan pergi ke Malioboro untuk membeli makanan.

Setidaknya, jika Anda ingin menikmati makanan yang lezat, bergeserlah ke daerah-daerah yang dekat dengan kampus UGM, UNY, atau UIN. Beberapa di antaranya sudah terkenal, tetapi tidak terlalu menarik bagi para wisatawan. Misalnya, jika berbicara tentang soto, orang mungkin lebih tertarik untuk mengunjungi Soto Kadipiro atau Soto Pak Sholeh, yang keduanya sudah menjadi legenda. Namun, Anda dapat menemukan warung soto enak dengan harga yang lebih terjangkau di Jogja tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka.



Seperti soto ayam Pak Man di daerah Sagan, dekat kampus UGM dan UNY. Warung tenda ini menggelar dagangannya di trotoar depan makam dan bukanlah warung permanen ala rumah makan. Karena lokasinya di pinggir jalan besar, kebanyakan pengunjung adalah mahasiswa yang bangun kesiangan atau pekerja yang sedang bekerja. Soto lenthok, juga dikenal sebagai perkedel dari ketela, dibiarkan mengapung di kuah soto bersama irisan daging ayam dan tempe bacem.

Saya juga percaya bahwa soto yang enak pasti menjual tempe yang lezat. Ketika warung soto ini menawarkan gorengan tempe tepung panas yang lezat, sudah pasti warung soto ini adalah salah satu juara soto di Jogja.

Apa biayanya? Saya hanya diminta dua puluh ribu rupiah untuk seporsi soto ayam, dua tempe goreng besar, satu tusuk sate ampela, teh panas manis, dan kerupuk. harga tidak mungkin di warung soto terkenal yang sering dikunjungi wisatawan.


Sehari kemudian, saya sarapan dengan gudeg di Pasar Demangan, yang terletak tak jauh dari kampus UNY. Ketika saya berkeliling pasar, saya tidak melihat wisatawan atau orang dari luar kota bergerak. Melainkan mereka adalah penduduk setempat yang benar-benar datang untuk berbelanja. Tidak sulit untuk menemukan gudeg Mbak Yuli; meskipun telah lama dijual, itu bukan jenis gudeg yang dikenal wisatawan pada umumnya. Ia menjual gudegnya di berbagai deretan ibu penjual bakulan gudeg.

Yang pernah membeli gudeg Jogja terkenal pasti tahu bahwa harganya hampir sama dengan makan di mall. Tidak ada yang mustahil di Pasar Demangan untuk menghabiskan sepuluh ribu rupiah untuk sarapan gudeg krecek dengan lauk telur. Di Jogja, gudeg murah meriah tidak sulit ditemukan. Namun, merek tertentu tampaknya menjadi pilihan yang wajib, meskipun harganya mahal. Penjual gudeg di pagi hari dapat dengan mudah ditemukan di trotoar depan pertokoan yang belum buka, selain di pasar seperti Pasar Demangan ini. Sebagai contoh, lihat deretan toko tekstil di Jalan Urip Sumoharjo.

Ini adalah tempat Anda benar-benar dapat merasakan suasana Jogja. Makan gudeg di pinggir jalan bersama mas-mas kantoran atau karyawan toko yang sibuk dengan pekerjaan mereka Dibandingkan dengan sebagian besar pengunjung yang tiba di hotel pada pagi hari, belum mandi, dan hanya menyiapkan sarapan di restoran hotel dengan omelet dan nasi goreng, terasa lebih ramah.

Ah, tetapi itu kembali ke kepuasan individu. Mungkin lebih banyak orang yang tertarik untuk mengambil foto dengan latar belakang tempat wisata ikonik Jogja daripada hal-hal asli yang saya tuliskan di sini. 
Itu sah-sah saja. seperti halnya dengan oleh-oleh khas Jogja yang tampaknya harus dibeli di pusat perbelanjaan di sekitar Malioboro. Namun, oleh-oleh yang saya bawa untuk kali ini adalah keripik tempe gembus, yang saya beli di Pasa Demangan dengan harga 10.000 rupiah per bungkus.

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menikmati Kegembiraan Umbul Banyuroso di Magelang

  Saat masih di Yogyakarta, akan sangat berguna untuk menghabiskan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat baru. Namun, banyaknya wisatawan di...